Swasembada energi merujuk pada kemampuan suatu negara untuk memenuhi kebutuhan energi domestiknya secara mandiri, tanpa tergantung pada impor. Konsep ini agak berbeda dengan ketahanan energi yang berfokus kepada stabilitas dan keberlanjutan pasokan, atau keamanan energi yang dimensi utamanya menekankan pertimbangan geopolitik dan perlindungan terhadap risiko dan ancaman yang dapat mengganggu pasokan energi.
Swasembada energi menekankan pemanfaatan sumber daya domestik sebagai prioritas utama, baik untuk energi primer seperti minyak, gas, dan batubara, maupun energi final seperti listrik.
Swasembada energi merupakan salah satu agenda strategis pemerintahan Presiden Prabowo yang merupakan turunan dari Asta Cita dalam rangka menjamin kedaulatan pangan, energi dan air. Program prioritas yang merupakan fokus kebijakan sektor energi meliputi pendorongan pembangunan kilang minyak dan infrastruktur gas dalam negeri, serta penurunan emisi karbon melalui energi bersih.
Kebijakan, seperti swasembada, adalah pilihan. Di tengah keterbatasan sumberdaya, dan aneka keinginan, harus dapat dipilih dan dipilah agenda prioritas (ambeg paramarta).
Dalam turunannya, hal tersebut tercermin dari insentif atau disinsentif yang ditawarkan, yang merupakan pendorong dan penyangkal alami bagi masyarakat bisnis untuk mewujudkannya. Dalam bahasa ekonomi hal ini dikenal dengan prinsip people respond to incentives, dan prinsip people face trade-offs.
Tantangan menuju swasembada energi
Indonesia menghadapi berbagai tantangan strategis dalam mencapai swasembada energi:
1. Ketergantungan Impor: Saat ini, lebih dari 80% kebutuhan LPG domestik berasal dari impor. Konsumsi LPG di Indonesia terus meningkat, dari 5,6 juta ton pada 2013 menjadi 8,7 juta ton pada 2023. Cadangan gas Indonesia tidak memiliki cukup elemen C3-C4 bahan LPG. Hal ini menjadikan sektor energi rentan terhadap fluktuasi harga internasional dan risiko geopolitik.
2. Dominasi Batubara: Batubara masih menjadi tulang punggung sektor ketenagalistrikan Indonesia. Meski efisien, batubara menghadapi tekanan besar dari agenda global energi terbarukan dan target net zero emission 2060.
3. Energi Terbarukan yang Intermittent: Sumber energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin memiliki tantangan dalam kestabilan pasokan. Teknologi untuk pengembangannya mahal, dan kurang menyerap tenaga kerja.
Sistem transmisi dan distribusi ketenagalistrikan Indonesia yang tidak terintegrasi pada berbagai pulau besar kecil hingga terpencil juga merupakan tantangan tersendiri dalam distribusi energi.
Adapun energi panas bumi, sekalipun stabil dan murah, namun belum memiliki ekosistem pengguna energi yang mandiri, dan masih tergantung kepada kebijakan ketenagalistrikan di PLN.
4. Ambisi Nuklir yang Sulit Tercapai: Meski nuklir disebut-sebut sebagai opsi jangka panjang, pengembangan teknologi ini sangat mahal dan memiliki dimensi geopolitik yang rumit. Iran misalnya.
Negara itu telah puluhan tahun mengembangkan energi nuklir, memiliki ahli-ahli nuklir, universitas dan laboratorium termasuk mengikuti ketentuan badan nuklir internasional (IAEA) maupun penundukan kepada tekanan negara negara niklir dalam perjanjian JCPOA. Tetapi tetap saja negara itu tidak lepas dari kecurigaan dan sanksi.
5. Ease of Doing Business: Peringkat Indonesia dalam kemudahan berbisnis perlu diperbaiki untuk menarik lebih banyak investasi di sektor energi. Reformasi regulasi dan perbaikan iklim investasi menjadi prasyarat penting. Indonesia saat ini berada di peringkat 73 dari 190 Negara. Masih jauh di bawah negara sekitar seperti Singapura yang di peringkat 2, Malaysia di posisi 12, Thailand di posisi 21 atau China yang di peringkat 31.
Proyeksi dan komposisi energi Indonesia Emas tahun 2045
Populasi Indonesia saat ini sekitar 277 juta jiwa, dan di tahun 2045 diperkirakan menjadi 320 juta jiwa. Sistem kelistrikan adalah tonggak utama untuk mendorong industrialisasi. Industrialisasi adalah motor penggerak mengungkit dan menarik ekonomi Indonesia mencapai target pertumbuhan, untuk mencapai Indonesia Emas.
Berikut tabel komposisi bauran energi primer dalam sistem ketenagalistrikan saat ini dan proyeksinya pada 2045:
Foto: Tabel komposisi bauran energi primer dalam sistem ketenagalistrikan. (Dok. Istimewa) |
Proyeksi ini mengasumsikan adanya peningkatan investasi pada energi terbarukan dan nuklir, serta transisi gradual dari batubara ke gas. Ini bukan sesuatu yang mudah.
Sebagai gambaran, bauran energi terbarukan yang ditetapkan dalam Rencana Umum Kebijakan Energi Nasional tahun 2017 mentargetkan 23% pada tahun 2025, kenyataannya masih sekitar 12%. Saat ini konsumsi energi ketenagalistrikan Indonesia ada pada 250 juta ton oil equivalent (TOE), dan pada tahun 2045 diperkirakan menjadi sekitar 350 juta TOE.
Rekomendasi Strategis Menuju Swasembada Energi
A. Optimalisasi Energi Fosil:
1. Batubara: Pengembangan teknologi briket batubara untuk kebutuhan rumah tangga, sambil mengurangi emisi karbon melalui inovasi teknologi pengendalian emisi. Briket batubara dapat menjadi alternatif LPG, terutama di wilayah yang tidak memiliki jaringan pipa gas, yang mencakup lebih dari 80% wilayah Indonesia.
2. Gas: Memaksimalkan pemanfaatan gas domestik untuk feedstock industri dan pengganti LPG impor.
3. Minyak: Mengurangi ketergantungan pada impor minyak melalui peningkatan kapasitas kilang dan efisiensi konsumsi. Peran teknologi dan perubahan perilaku dalam konservasi energi, memberi kontribusi signifikan dalam hal ini.
B. Investasi pada Infrastruktur Energi Domestik:
1. Membangun pembangkit listrik berbasis batubara dan gas di daerah dengan potensi sumber daya besar seperti Kalimantan dan Sulawesi.
2. Memperkuat jaringan transmisi dan distribusi listrik di luar Jawa-Bali untuk meningkatkan kehandalan pasokan.
3. Membangun Pusat-pusat industri termasuk untuk hilirisasi mendekat ke sumber sumber energi primer. Itu akan meningkatkan efisiensi.
C. Fokus pada Realisme Kebijakan:
1. Menghindari target yang terlalu ambisius seperti net zero emission tanpa kesiapan teknologi dan infrastruktur.
2. Berhenti mengedepankan narasi transisi energi terbarukan yang tidak realistis untuk kondisi Indonesia saat ini.
3. Sebagai perbandingan, Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump pada periode pertamanya, keluar dari Paris Agreement yang terlalu meributkan perubahan iklim. Alih-alih Amerika Serikat fokus meningkatkan produksi minyak dan gas terutama dari shale (serpih) yang mencarinya langsung dari sumbernya.
Saat ini, Amerika Serikat adalah produser terbesar minyak bumi 12 juta barel per hari dan juga produser utama LNG. Dalam pemerintahan Trump yang akan datang, Menteri Energinya berlatar belakang pengusaha migas.
D. Peningkatan Iklim Investasi:
1. Melakukan reformasi regulasi untuk meningkatkan peringkat Ease of Doing Business, khususnya di sektor energi.
2. Memberikan insentif fiskal untuk investasi di teknologi bersih yang mendukung tujuan swasembada energi.
Kesimpulan
Swasembada energi adalah cita-cita yang harus diraih dengan strategi yang realistis, terfokus, dan berbasis pada sumber daya domestik. Perlu perubahan dalam paradigma berfikir, termasuk transformasi mentalitas dengan mengurangi narasi target transisi energi yang ambisius dan sulit dicapai.
Fokuslah secara cerdas dan jelas pada optimalisasi energi fosil dan pengembangan infrastruktur energi yang efektif. Itulah patriotisme merah putih dan cinta tanah air yang sesungguhnya.