Presiden Prabowo Subianto diprediksi akan menghadapi pilihan pelik saat pulang ke Tanah Air seusai melakukan lawatan ke sejumlah negara. Dilema itu menyangkut jadi tidaknya pelaksanaan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%.
Anggota Komisi XI DPR RI Erwin Aksa menganggap pemerintah terkesan bersikeras menerapkan PPN 12% untuk mendapatkan tambahan anggaran. Menurut dia, tambahan pendapatan ini diperlukan untuk menjalankan program-program pemerintah.
“Urgensinya saya kira teman-teman di eksekutif tengah berpikir bagaimana menaikan pendapatan negara, apa itu lewat PPN dan PNBP,” kata Erwin dalam program Nation Hub di CNBC Indonesia, Senin, (25/11/2024).
Erwin mengibaratkan pemerintah tengah menyiapkan formula untuk menaikan pendapatan negara tersebut. Pendapatan negara, kata dia, harus digenjot lantaran pemerintah tak punya opsi untuk memperlebar defisit fiskal. “Karena pengeluaran kita besar, sementara defisit kita dibatasi,” ujar dia.
Mantan Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran ini berkata memang ada cara lain untuk mendapat tambahan anggaran, yaitu dengan penghematan. Apabila kebijakan efisiensi ini yang dipilih, maka Prabowo terpaksa harus menunda sejumlah program lainnya, misal di bidang infrastruktur.
“Kalau itu memang terjadi, berarti banyak proyek investasi dari pemerintahan yang lalu mungkin di-pending,” kata dia.
Meski demikian, Erwin menilai pemerintah sejatinya sudah melakukan sejumlah upaya untuk penghematan. Misalnya dengan melarang kementerian melakukan pemborosan untuk perjalanan dinas dan kunjungan kerja tanpa hasil. “Penghematan ini beliau ingin gunakan untuk kepentingan yang lebih baik,” ujar dia.
Senada, ekonom senior sekaligus mantan Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati juga menilai pemerintah sedang membutuhkan banyak tambahan anggaran. Tambahan pendapatan itu, kata dia, diperlukan untuk membiayai program-program pemerintah.
“Kita memang tahu pemerintah sekarang butuh kenaikan penerimaan negara, ada program-program baru yang harus didanai,” kata Anny dalam program Tax Time di CNBC Indonesia.
Selain membiayai program, Anny menduga pemerintah butuh banyak uang untuk kebutuhan lainnya, yakni membayar utang yang jatuh tempo dan bunga utang. Dia mengatakan seperti diketahui, pemerintah akan menghadapi utang jatuh tempo dan bunga utang yang menumpuk pada 2025 dan 2026.
“Kita pada 2025 dan 2026 harus membayar utang dan bunga utang dalam jumlah besar, sementara APBN yang kita memiliki keterbatasan.. jadi itu urgensi kenapa PPN menjadi 12%,” kata dia.
Meski demikian, Anny tetap tidak setuju dengan rencana pemerintah menaikan PPN menjadi 12%. Dia meyakini kebijakan ini akan sangat menekan daya beli masyarakat. Terlebih, kata dia, masyarakat juga harus menghadapi berbagai kenaikan iuran di tahun 2025 seperti kemungkinan kenaikan tarif BPJS Kesehatan, hingga rencana pemerintah mengurangi subsidi BBM.
“Jadi isu-isu itu yang membuat kita bertanya-tanya tentang kemampuan daya beli, utamanya masyarakat kelas menengah kita,” kata dia.