Masalah deindustrialisasi dini yang terjadi di Indonesia selama 10 tahun terakhir bisa membuat mimpi Presiden Prabowo Subianto membawa pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 8% kandas.
Hal ini diungkapkan oleh Ekonom senior yang juga merupakan salah satu pendiri Institute for Development on Economics and Finance (INDEF) Didik J Rachbini. Menurutnya, industrialisasi adalah kunci sebuah negara untuk menikmati pertumbuhan ekonomi tinggi.
“Kalau industri gagal, lupakan (ekonomi tumbuh 8%),” kata Didik dalam program Cuap Cuap Cuan CNBC Indonesia, dikutip Senin (23/12/2024).
Didik mengatakan, pada era pemerintahan Presiden Soeharto, yang sempat menikmati pertumbuhan ekonomi hingga 7% laju pertumbuhan industri manufaktur bisa mencapai 10%-20%. Sementara itu, saat ini pertumbuhan industri manufaktur hanya 3-4%.
“Ya enggak mungkin kalau industri nya tumbuh 3-4%, mau tumbuh 8%, enggak bisa,” tegasnya.
Di sisi lain, deindustrialisasi dini akut ini juga tercermin dari kontribusi industri manufaktur atau pengolahan terhadap produk domestik bruto (PDB) yang terus merosot 10 tahun terakhir, atau pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) sumbangan industri manufaktur terhadap PDB masih sebesar 23,37% pada kuartal III-2014. Namun, pada kuartal I-2024 distribusinya hanya tersisa 19,02% terhadap PDB.
“Jadi ini sudah hampir 10 tahun terakhir. Waktu Sarasehan 100 Ekonom pertama kali, saya membuat pidato pengantar, Pak Jokowi, jangan hanya blusukan di pasar, sekarang Bapak menghadapi deindustrialisasi,” papar Didik.
Oleh sebab itu, ia mengingatkan, permasalahan deindustrialisasi ini harus segera diurus oleh tim menteri-menteri ekonomi Prabowo untuk bisa merealisasikan mimpinya menggapai mimpi pertumbuhan ekonomi 8%.
“Itu bisa kok asal ada fokusnya. Kuncinya apa? Satu, deregulasi, debirokratisasi. Jadi jangan ekspor itu dihambat,” ungkap Didik.