Dipermasalahkan AS, Transaksi QRIS Ternyata Meroket 169%

Artajasa

Volume transaksi pembayaran digital melalui layanan Quick Response Indonesian Standard atau QRIS terus meningkat tajam, di tengah keluhan AS terhadap sistem bikinan Bank Indonesia itu.

AS menganggap QRIS diimplementasikan secara tidak transparan dan menjadi bagian dari layanan keuangan yang menghambat perdagangan AS di Indonesia.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, volume transaksi QRIS sepanjang kuartal I-2025 terus tumbuh hingga 169,1% dibanding periode yang sama tahun lalu (yoy). Dipicu oleh terus naiknya jumlah pengguna dan merchant.

“Transaksi pembayaran digital melalui QRIS tetap tumbuh 169,1% yoy, didukung peningkatan jumlah pengguna dan merchant,” kata Perry saat konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur BI, Rabu (23/4/2025).

Perry mengatakan, meroketnya volume transaksi QRIS ini sejalan dengan transaksi ekonomi digital di Indonesia juga juga terus menanjak. Misalnya, transaksi pembayaran digital aplikasi mobile internet selama kuartal I-2025 telah mencapai 10,76 milir transaksi atau tumbuh 33,5% yoy.

“Volume transaksi aplikasi mobile dan internet juga terus tumbuh masing-masing sebesar 34,5% dan 18,9% yoy,” tegas Perry.

Sebagaimana diketahui, sorotan pemerintah Trump terhadap QRIS itu tertuang dalam dokumen Foreign Trade Barriers yang dikeluarkan United States Trade Representative (USTR) pada akhir Februari 2025.

Dalam dokumen USTR 2025 yang keluar pada akhir Februari lalu tersebut, pemerintah AS menyoroti Peraturan BI No. 21/2019. Dalam PBI itu, Indonesia menetapkan standar nasional QR Code, disebut QRIS, atau Quick Response Indonesia Standard untuk semua pembayaran yang menggunakan kode QR di Indonesia.

“Perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia pembayaran dan bank-bank, mencatat kekhawatiran bahwa selama proses pembuatan kebijakan kode QR BI, para pemangku kepentingan internasional tidak diberitahu tentang sifat perubahan potensial tersebut maupun diberi kesempatan untuk menjelaskan pandangan mereka mengenai sistem tersebut, termasuk bagaimana sistem tersebut dapat dirancang untuk berinteraksi paling lancar dengan sistem pembayaran yang ada,” papar AS dalam dokumen USTR.

Kemudian, AS juga menyoroti Peraturan BI No. 19/08/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) yang mewajibkan seluruh debit ritel domestik dan transaksi kredit yang akan diproses melalui lembaga switching GPN yang berlokasi di Indonesia dan memiliki izin oleh BI.

“Peraturan ini memberlakukan pembatasan kepemilikan asing sebesar 20% pada perusahaan yang ingin memperoleh pengalihan lisensi untuk berpartisipasi dalam NPG, melarang penyediaan layanan pembayaran elektronik lintas batas untuk transaksi debit dan kartu kredit ritel domestik,” tulis USTR, Senin (21/4/2025).

Peraturan BI No. 19/10/PADG/2017 mengamanatkan bahwa perusahaan asing menjalin kerja sama dengan switch GPN Indonesia yang berlisensi untuk melakukan pemrosesan transaksi ritel domestik melalui GPN.

Menurut USTR, BI harus menyetujui perjanjian tersebut, dan peraturan tersebut membuat persetujuan bergantung pada perusahaan mitra asing yang mendukung pengembangan industri dalam negeri, termasuk melalui transfer teknologi.

Kas138

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*