Beda dengan Trump, RI Percaya Perlu Penurunan Emisi Karbon

PLN
Foto: dok PLN

Amerika Serikat (AS) ‘hengkang’ dari perjanjian global untuk menghadapi perubahan iklim atau Paris Agreement. Perjanjian Paris itu sendiri merupakan langkah negara-negara di dunia untuk bisa menurunkan suhu bumi dan memperbaiki kondisi iklim dengan beranjak menggunakan energi bersih.

Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) 2020-2024 Satya Widya Yudha mengatakan berbeda dengan AS, Indonesia sendiri masih sejalan dengan visi dunia tersebut untuk bisa mengurangi sumbangan emisi karbon.

Salah satunya, dibuktikan dengan sumbangan emisi karbon di Indonesia yang masih terhitung jauh lebih rendah dibandingkan dengan AS. Bahkan, Satya menyebutkan Indonesia sudah berkomitmen untuk menurunkan sumbangan emisi karbon ke udara hingga 446 juta ton sampai tahun 2030 mendatang.

“Karena kita sebagai climate change believer, kita bukan climate change denier kayak Trump ya. Karena kita climate change believer, berarti apa ukurannya? Ukurannya dari NDC kita, dari Nationally Determined Contributions. Kita sudah commit 2030 menurunkan sampai 446 juta ton atau 330 sekian juta ton kalau tanpa bantuan internasional,” kata Satya dalam acara Swasembada Energi CNBC Indonesia di Jakarta, dikutip Jumat (20/2/2025).

Satya mengungkapkan, meski Indonesia belum sepenuhnya memanfaatkan energi baru terbarukan sebagai salah satu upaya untuk mengurangi sumbangan emisi karbon, setidaknya Indonesia berkomitmen untuk ‘membersihkan’ emisi karbon yang terbuang melalui teknologi Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS).

“Nah jadi kita pikiran kita untuk memenuhi daripada penurunan emisi karbon ya di kisaran itu, nah di dalam menuju kepada pemenuhan penurunan daripada emisi karbon apa sih ininya appetite-nya dari sektor energi? Maka kita masukkan renewables, kita masukkan fosil tetapi clean fosil. Ya maka clean fosil paling tidak gas masuk,” tambahnya.

Jelasnya, Indonesia masih akan memanfaatkan sumber energi fosil termasuk batu bara untuk bisa menyediakan sumber energi di dalam negeri sekaligus dengan harga yang terjangkau.

“Nah kita tidak boleh, kita tidak boleh pada posisi energi kita itu chaos. Maka kenapa presiden mengatakan bahwa energy security itu harus mengemuka di dalam scenario transisi kita,” tandasnya.

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memastikan Indonesia masih berkomitmen pada Paris Agreement atau perjanjian iklim Paris. Sekalipun Amerika Serikat lebih memilih mundur dari komitmen tersebut.

Meski demikian, Bahlil menegaskan bahwa kebijakan energi domestik harus mempertimbangkan skala prioritas nasional. Khususnya terkait penyediaan energi di dalam negeri melalui Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

“Oh nggak ada, kita masih tak komitmen kok. Tapi kita lihat skala prioritas untuk melihat keuangan negara dan biaya listrik kita,” ujar Bahlil di Jakarta, Selasa (11/2/2025).

Menurut dia, PLTU berbahan bakar batu bara masih akan menjadi opsi lantaran memiliki biaya yang lebih murah dibandingkan menggunakan pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) atau gas.

Ia pun memerinci bahwa biaya produksi listrik dari PLTU hanya berkisar di angka 5-6 sen per kWh. Sementara apabila menggunakan pembangkit berbasis EBT bisa mencapai lebih dari 10 sen per kWh.

“Bahkan selisihnya kalau kita pakai antara batubara dan gas, selisih per satu gigawatt per tahun Rp 5-6 triliun. Jadi Rp 5-6 triliun ini siapa yang mau nanggung? Negara, subsidi lagi. Atau rakyat? Ya saya kan harus berpikir mendahulukan kepentingan rakyat dong,” kata dia.

Ia lantas menyinggung keputusan Amerika Serikat sebagai negara maju yang saat ini justru mulai mundur dari kebijakan tersebut.

“Amerika saja keluar dari Paris Agreement, masa kita harus dipaksa-paksa terus? Tapi kita setuju lho untuk memakai energi baru terbarukan dengan cara tetap PLTU, tapi kita blending. Blending dengan gas, kemudian matahari, atau kita lagi mendesain untuk menangkap carbon capture-nya,” kata dia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*