Gara-Gara Tom Lembong, Kejagung Didesak Lakukan Ini Segera

Jadi Tersangka Impor Gula, Tom Lembong Jawab Ini

Kejaksaan Agung (Kejagung) diminta gerak cepat dalam menangani dan menyelidiki acak-adut importasi pangan di Indonesia. Termasuk dalam hal ini, izin impor gula yang tengah ditangani Kejagung.

Seperti diketahui, Kejagung menetapkan 2 tersangka atas perkara tindak pidana korupsi impor gula periode tahun 2015-2016. Penetapan itu diumumkan pada Selasa, 29 Oktober 2024.

Yaitu, Thomas Trikasih Lembong (TTL), yang pernah menjadi Menteri Perdagangan (Mendag) RI periode tahun 2015-2016. Tersangka lain, CS yang dalam perkara ini merupakan Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI).

Tak dapat dipungkiri, penetapan Tom Lembong sebagai tersangka jadi kehebohan tersendiri. Apalagi, kasus yang diselidiki adalah izin tahun 2015-2016, namun baru sekarang dijadikan tersangka.

Bahkan, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejagung Abdul Qohar harus menegaskan, tidak ada politisasi dalam kasus penetapan Tom Lembong sebagai tersangka perkara tindak pidana korupsi dalam kegiatan importasi gula di Kementerian Perdagangan (Kemendag) tahun 2015-2016.

Karena itu, Pengamat Pertanian – Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori meminta sebaiknya Kejagung memeriksa semua kasus yang memang potensial merugikan negara. 

“Acak-adut impor itu tidak hanya terjadi pada gula, tapi juga komoditas lainnya. Juga, acak-adut impor potensial tidak hanya terjadi pada saat Tom Lembong menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Agar tidak memunculkan syak wasangka buruk, sebaiknya Kejagung memeriksa semua kasus yang memang potensial merugikan negara,” katanya kepada CNBC Indonesia, dikutip Kamis (31/10/2024). 

“Hanya dengan cara demikian, Kejagung akan terbebas dari tuduhan tebang pilih. Kita dukung Kejagung untuk membersihkan semua aparat, pejabat, dan para pihak yang menjadi pencoleng dengan kedok impor,” tambahnya. 

Apalagi, imbuh dia, importasi yang serampangan tidak hanya terjadi pada gula, tapi juga komoditas lainnya.

“Juga, acak-adut impor potensial tidak hanya terjadi pada saat Tom Lembong menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Oleh karena itu, agar tidak memunculkan syak wasangka buruk, sebaiknya Kejagung memeriksa semua kasus yang memang potensial merugikan negara. Hanya dengan cara demikian, Kejagung akan terbebas dari tuduhan tebang pilih. Kita dukung Kejagung untuk membersihkan semua aparat, pejabat, dan para pihak yang menjadi pencoleng dengan kedok impor,” kata Khudori.

Menurut Khudori, titik krusial yang menjadi awal insiden Tom Lembong jadi tersangka adalah karena persetujuan impor memang dikeluarkan Januari 2016, tapi berupa izin impor gula kristal mentah (raw sugar/ GKM) untuk diolah jadi gula kristal putih (GKP/ gula konsumsi).

“Sudah jamak diketahui, saat itu pabrik gula BUMN yang berbasis tebu dalam kondisi tidak giling. Mereka baru giling akhir Mei atau awal Juni 2016. Karena tidak giling, penugasan diberikan ke PT PPI, yang juga BUMN. Tapi PPI bukan BUMN yang bisa bertindak sebagai importir produsen,” terang Khudori.

“Dugaan saya, Tom Lembong disalahkan karena menunjuk PT PPI yang bukan BUMN produsen gula, yang menurut aturan harus demikian. Langkah itu, saya duga, ditempuh Tom Lembong karena tidak ada pabrik gula BUMN yang tengah giling,” paparnya.

Sehingga, dipilih penugasan tetap ke BUMN meski bukan BUMN produsen gula.

“Masalahnya, mengapa tidak impor GKP, tapi impor GKM untuk diolah jadi GKP? Sepanjang yang saya tahu, pabrik gula rafinasi terlibat dalam produksi GKP dari GKM ini bukan kasus satu-satunya,” kata Khudori.

Penjelasan Kejagung

Lalu kenapa kasus tahun 2015-2016 baru ditindak sekarang?

Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar mengungkapkan, penanganan perkara membutuhkan bukti-bukti dan analisa mendalam sehingga memerlukan waktu.

“Karena ada pertanyaan kenapa harus sekarang? Nah memang saya sampaikan bahwa penyidikan ini sudah dilakukan sejak Oktober 2023, jadi persis 1 tahun ya, nah tetapi bahwa setiap penanganan perkara ada karakteristik yang dimiliki oleh perkara itu tidak bisa disamakan 1 perkara dengan perkara yang lain, ada tingkat kesulitannya yang dialami oleh penyidik,” katanya.

“Bahwa terhadap penegakan hukum yang represif tentu harus dimaknai terhadap pemenuhan adanya bukti permulaan yang cukup, itu harus dilihat atau ditemukan dari setidaknya 2 alat bukti itu supaya clear,” jelas Harli.

Sementara itu, Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Abdul Qohar memastikan tidak ada politisasi dan penyidik bekerja berdasarkan alat bukti.

“Tidak terkecuali siapa pun pelakunya, ketika ditemukan bukti yang cukup maka penyidik pasti akan menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka,” ungkap Abdul Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa malam (29/10/2024).

“Saya ulangi, tidak memilih atau memilah siapa pelaku sepanjang memenuhi alat bukti yang cukup,” tegasnya.

Qohar menegaskan penyidik telah melakukan penyidikan sejak Oktober 2023 lalu. Dari kasus ini, ada sekitar 90 orang saksi yang diperiksa Kejagung.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*