
Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Golkar Adies Kadir mengatakan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 tentang pemisahan pemilu nasional dan daerah mengguncang dunia hukum hingga politik.
“Putusan 135 ini memang agak mengguncangkan dunia, baik dunia hukum maupun dunia perpolitikan,” kata Adies saat diskusi publik di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta Barat, Kamis.
Dia mengatakan sekilas putusan tersebut merupakan solusi yang sistemis. Namun jika dikritisi, putusan pemisahan pemilu menyebabkan dampak besar.
“Mari kita cermati sebagai sebuah catatan kritis karena sejatinya putusan ini bukan hanya sebagai koreksi hukum, melainkan memiliki daya guncang terhadap keseluruhan sistem ketatanegaraan kita,” katanya.
Menurut Adies, putusan MK tidak selaras dengan Pasal 22E Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 yang mengamanatkan anggota DPRD dipilih setiap lima tahun sekali, sama halnya dengan DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden.
Namun, dalam putusan teranyar itu, MK menggabungkan pemilihan anggota DPRD dengan kepala/wakil kepala daerah yang penyelenggaraannya dua atau dua setengah tahun sejak anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden dilantik.
Di samping itu, dia menyebut Putusan Nomor 135 inkonsisten dengan putusan-putusan sebelumnya. Pada Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013, MK memutuskan bahwa keserentakan pemilu yang konstitusional ialah penyelenggaraan pilpres dan pileg secara serentak.
Kemudian, sambung Adies, dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 55/PUU-XVII/2019, Mahkamah memberikan enam opsi keserentakan pemilu yang konstitusional. Lalu, pada Putusan Nomor 135, MK memberikan penafsiran yang lebih eksplisit.
“Jika menafsirkan konstitusi dapat berubah secara ekstrim dalam rentang waktu singkat, sekitar berapa tahun, maka rakyat akan kehilangan kepastian dan sistem hukum kita akan kehilangan pegangan,” tuturnya.
Bagi Adies, ihwal jadwal keserentakan pemilu sejatinya bersifat open legal policy atau kebijakan hukum terbuka yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang. MK, kata dia, seharusnya tidak berwenang untuk mengotak-atik itu.
Ia pun menyebut MK seharusnya menjadi negative legislature, alih-alih positive legislature. Dalam tataran ini, Adies memandang tugas MK hanya sebatas menilai bertentangan atau tidaknya suatu norma undang-undang terhadap UUD, bukan membentuk norma baru.
“Apa yang dilakukan MK, menurut beberapa ahli juga, telah melampaui fungsi yudikatif,” katanya.
Lebih dari itu, Adies menyebut pemisahan pemilu nasional dan daerah berpotensi membuka ruang politisasi birokrasi hingga mengancam prinsip desentralisasi dan otonomi daerah. Ia khawatir program pemerintah pusat tidak berjalan maksimal.
“Kita bisa bayangkan kalau presiden terpilih, kemudian pemilihan kepala daerah dua setengah tahun kemudian. Apa jadinya pembangunan di kabupaten/kota kalau hanya mendapatkan waktu dua tahun mereka hanya baru menyosialisasikan program, kemudian setengah tahun melaksanakan?” kata Adies.
Pada kesempatan yang sama, pakar hukum tata negara Mahfud MD juga mengatakan bahwa jadwal keserentakan pemilu seharusnya open legal policy. Namun demikian, dia menekankan bahwa putusan MK final dan mengikat sehingga harus dilaksanakan.
Menurut Mahfud, putusan MK soal pemisahan pemilu nasional dan daerah harus dijalankan dengan melakukan rekayasa konstitusional, sebagaimana yang diamanatkan pula oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 135 itu.
Terkait rekayasa konstitusional, Mahfud mengemukakan lima alternatif, yakni perpanjang masa jabatan anggota DPRD dan kepala daerah dengan undang-undang; kepala daerah diganti penjabat, DPRD dipilih melalui pemilu sela; kepala daerah diperpanjang dengan penjabat, DPRD diperpanjang dengan undang-undang tanpa pemilu sela; pemilu sela untuk DPRD dan kepala daerah periode peralihan; serta pilkada oleh DPRD.
Kendati demikian, ketua MK periode 2008–2013 itu tidak merekomendasikan pembentuk undang-undang memilih opsi terakhir, yakni pilkada oleh DPRD karena terlalu ekstrem.
“Itu akan mundur. Saya tidak merekomendasikan, cuma itu bisa menjadi alternatif yang boleh. Saya lebih suka pemilu seperti sekarang, sama-sama langsung, tetapi jadwalnya menjadi problem,” ujarnya.